Yuli. Adalah
cewek manis berkulit sao matang. Yuli adalah pacar kedua gue. Dan lo tau mas
& mbak bro, lagi-lagi pacar gue adalah bekas dari orang terdekat gue.
Rengga adalah teman dekat gue sejak gue SD dulu. Kita selalu ngerjain tugas
bareng, nyontek bareng, bahkan dihukum juga bareng. Pernah ada suatu kejadian,
rengga di cium oleh bu Doer –sebutan kami untuk istri pak junaidi- karena gak
bisa menuntaskan perkalian tujuh. Karena matematika adalah pelajaran yang
keramat buat gue, jadi gue gak bisa ngasi contekan buat dia. Dan itu adalah hal
yang paling memalukan buat rengga.
Awalnya gue kenal Yuli karena
Yuli adalah sahabat sekaligus tetangga Shenna. Selain nongkrong di rumah
Shenna, gue juga sering nongkrong di rumah Yuli. Jadi kita sudah gak saling
canggung lagi satu sama lain. Malahan, kita bisa lebih dekat dari sebelumnya
setelah jadian -ya iya lah, namanya juga pacaran-. Kita selalu telponan tiap
hari. SMS-an juga. Sampai-sampai lupa waktu makan, minum. Tapi ada satu yang
gak bisa gue lupain walaupun sedang asik-asiknya telponan atau sms-an sama
yuli. Itu adalah waktu dimana gue sedang sakit perut dan pengen pupup. Itu yang
gak bisa gue tahan sama sekali.
Sekedar anekhdot ditengah cerita
gue :
Apa yang paling cepat di
dunia...? | pasti mobil F1, cahaya (karena sekali di cetek saklar, lampu
langsung hidup), suara, getaran | lo salah semua, yang paling cepat itu kalau
orang sedang sakit perut dan pengen pupup. Karena dia gak butuh mobil F1, gak
butuh cahaya, gak butuh suara, dan gak butuh getaran. Yang dia butuh cuma
kloset doang.
Yuli sering banget cerita
tentang pengalaman dia pacaran dengan rengga. Mulai dari kenalan, jalan bareng,
sampai pengalaman –ya lo tau lah, anak muda-. Jangan ngeres dulu, itu
pengalaman rekreasi di kolam renang doang. Semua tentang mereka di jadikan
celoteh malam oleh Yuli. Dan itu membuat gue bosan. Gue mulai gerah dengan dia
yang jadi-in gue sebagai (cuma) pendengar budiman atas semua cerita basi itu.
Bagaimana gak basi, itu cerita kan
udah dia lewati semua. Dan itu juga ga akan terjadi di hubungan kita. 36
kilometer terbentang di atas hubungan ini.
Hari dimana kita harus :
“sayang, aku mau bicara sesuatu,
ini serius” ucap gue
“apa?” tanya Yuli
“Itu tentang hubungan kita”
“ada apa dengan hubungan kita? Ada yang salah?”
“se...” ucap ku gagap. gue takut
ini menyakiti hatinya. Karena bukan gue jika gue harus menyakiti hati wanita.
“se... apaan, yang jelas dong
ngomongnya, tadi katanya serius,?”
“sepertinya, kita... ga cocok
deh” ucap gue pelan
“ga cocok gimana? Maksud kamu,
mau putus gitu...?”
“aku ga ada maksud seperti itu,
tapi sepertinya kamu ada benarnya juga. Aku mau kita putus”. Kata gue dengan
serius. Namun yuli hanya tertawa.
“hahaha... aku udah menduga itu
dari awal” jawab yuli sambil tertawa
“yaudah deh, kalau kamu maunya
itu” sambungnya lagi sambil memutuskan panggilan telepon gue.
putus adalah hari paling
gak menyenangkan buat gue. Karena hari itu juga gue harus pulang ke kampung.
Bukan karena kampungnya yang kumuh, padat, atau apalah namanya. Itu karena
dikampung, gue harus jumpa dengan Rengga. Gue ngerasa bersalah banget karena
udah nerima Yuli jadi pacar gue. Padahal rengga sangat mencintai Yuli. Terbesit
di benak gue, “gue harus minta maaf ke rengga”. Dan gue langsung menjumpai dia.
Ketika berjumpa dengan rengga, gue beranikan diri buat nanya ke dia. “ngga,
boleh jujur?” tanya gue. “yaudah, jujur aja, lo mau bilang apa?”. Kaki gue
tiba-tiba bergetar, dan dari pernyataannya itu, gue narik satu kesimpulan bahwa
rengga gak tau apa yang udah gue lakuin. “gue... gue mau beli mata pancing ni,
temeni yuk?”. Alibi gue mulai kambuh. “ooh, gue kira apaan tadi, yaudah,
yuuk...”. dan hati gue berkata “amaaannn, ternyata rengga gak tau”.
Persahabatan gue dan rengga hingga kini masih adem ayem tentrem. Dan soal Yuli,
aahhh, itu cuma masalalu.
No comments:
Post a Comment