Saturday 1 February 2014

Episode Cinta #3


Jatuh cinta memang kadang terasa menyebalkan. Apalagi kalau itu sekedar cinta yang dialami oleh dua monyet tak berekor dengan pakaian putih merah. kita selalu jadi korban bully. mulai dari orang tua yang bilang : Eh, masih kecil...!
sampai orang-orang dewasa yang ngebully dengan cara yang menyakitkan : "Ciee, Cinta monyet"
apaan coba yang lucu. ini kan cinta, gak pernah memandang pada siapa dan kapan akan menyerang hati dengan virus merah jambunya. lagian, kita kan manusia, bukan monyet.

cinta memberikan gue banyak kisah. cinta juga mengajarkan gue bahwa gue pernah dibilang monyet. kalau di filmkan, mungkin judul film yang tepat adalah : CINTA DUA MONYET TAK BEREKOR.
dan cinta juga membuat gue memilih untuk melirik ke arah W
idya.
Widya Ramanda. Cewek manis anak seorang Komandan Polisi Hutan dengan lesung pipit di kedua pipinya, dan senyuman manis disetiap hari yang ia bawa ke kelas kami, 3-4. kelas ini adalah Kelas “Keramat” bagi para guru. Memang nasib gue kali ya mas bro, selalu terdampar di kelas yang angker. Sangkin angkernya, kami punya Kuntilanak Boneng yang duduk di sudut kelas. Kami menyebutnya dengan nama “Bebek”. Nama itu dinobatkan oleh sesepuh kelas kami, Rozi. Dia adalah siswa paling sok cool di kelas kami. Tapi, gue tetap salut terhadap prestasi yang dicapainya dibidang sepakbola.
Hari hari gue kembali seperti dulu. Gue kembali rajin datang ke sekolah, dan rajin belajar. Ini adalah efek positif yang selalu gue dapat kalau gue suka sama satu orang cewek di daerah sekolahan. Pendekatan gue dengan Widya juga udah makin-makin. Apa lagi setiap pembagian kelompok belajar, dia selalu milih kelompok gue. Semua hari gue terasa begitu indah, kecuali hari minggu. Karena pada hari minggu kita libur. Dan kita pasti ga bakalan jumpa. Jarak antara rumah gue dan rumah Widya itu seperti Bumi dan Matahari. Dan efek dari jauhnya jarak yang terbentang diantara kita adalah “GALAU”. Sumpah, Minggu adalah waktu yang paling ngebosenin buat gue. Gue Cuma bisa ngisi waktu minggu gue dengan menonton TV dengan siaran yang ga pernah jelas kemana arah ceritanya, seharian. Untung saja ada Doraemon yang selalu nemeni hari galau gue. Gue suka film doraemon karena gue selalu bisa ngebayangi kalau Nobita adalah Gue. Dia selalu galau seperti gue kalau udah hari minggu. Karena galaunya melebihi gue, jadi gue bias ngerasa sedikit nyaman dengan hari minggu. Tapi, kalau film nya udah selesai, gue kembali galau.
Suatu pagi di hari rabu, kami kedatangan teman baru di lingkungan kelas ini. Adalah Pratama Putra Atlanta, seorang cowok yang lumayan tampan, walau sebenarnya gue lebih tampan dari dia. Anak pindahan dari SMP Percontohan itu secara aktif berinteraksi dengan gue. Dan akhirnya, dia menjadi teman terdekat gue. Hari-hari yang indah ini kami jalani bersama. Main bersama, belajar bersama, bahkan nyontek bersama. Kami sahabat bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Sampai suatu saat, dia ikut didalam kelompok belajar gue dan widya. Awalnya sih lancar, namun akhirnya, gue terbakar. Bukan, bukan terbakar api, tapi terbakar cemburu. Coba deh lo bayangin mas bro, kalau kita suka sama cewek, dekat, dan sedikit lagi hampir jadian, tapi teman dekat kita sendiri yang selalu bareng sama kita, menghianati kita. Emosi banget gue saat dengar tuh anak manggil widya dengan sebutan “sayang” di depan muka gue. Rasanya itu pengen gue mutilasi, terus gue jadiin sop daging cincang potongan tubuhnya itu. Tapi apalah daya tubuh ini, hanya bisa menerima keadaan dan pilihan yang dipilih oleh Widya. Gue Cuma bisa berdo’a semoga mereka tenang di alam nya. Gue tetap menjadi profesional sebagai teman dan sahabat mereka walaupun hati ini telah disakiti. rasa sakit mengajarkan gue untuk tidak menyakiti orang lain. karena sumpah men, itu sakit banget. melebihi sakitnya kalau hidung sedang terkena flu.
lagian, apa artinya dendam? toh widya nya juga gak bakalan ngelirik gue.cukup muove on, dan lakukan yang terbaik. apa susahnya coba move on?


to be continue...

Episeode cinta #2

#Episode Kedua
       Dia adalah Mentari. Cukup Mentari, namanya tak lebih dari itu. Mentari adalah seorang cewek anggun berkulit putih dan berkacamata dengan takaran -3 disetiap sisi matanya. Kacamata yang digunakannya itu menambah keyakinan atas diri gue bahwa dia benar-benar pintar. Dia adalah teman SMP gue sejak kami diterima di kelas 1-1 sampai akhirnya kita berpisah waktu kenaikan kelas. Gue masuk di kelas 2-4, sedangkan dia, masuk ke kelas 2-1, kelas inti. Bukan berarti masuk 2-4 gue ga pinter ya mas bro, mbak bro. Cuma saat itu mungkin taraf keberuntungan gue lagi berkurang. Jadi gue masuk di kelas angker. Para guru menyebut kelas kami sebagai kelas buangan. Karena didalamnya berkumpul 23 anak bandel, ditambah dua culun bahagia yaitu gue dan Ono Harto. Setelah tamat SD, kita berhasil masuk ke SMP favorit semua manusia setengah remaja alias anak SD yang lagi ngerayain tamatannya. Gue tamat dengan nilai diatas standart rata-rata.
Pertama masuk kelas, Cuma satu yang gue cari mas bro. “cewek cantik”. Dan yang pertama kali gue liat itu adalah Ramadhayani. Cewek yang ga cantik-cantik amat, tapi dia andalan para guru ketika dalam pelajaran matematika. Tapi, setelah lama gue mandangi Ramadhayani, gue ngerasa ada sesuatu yang ditutupi oleh tubuh padatnya. Waktu itu alibi gue keluar tanpa kompromi. “Ramadhayani, kamu tadi dicariin sama senior. Katanya sih, kakak kelas kamu waktu di SD sih.” Ucap gue santai, sambil menunggu reaksi dari ramadhayani buat pindah dari tempat duduknya.
“siapa za? Sekarang dimana dia?” jawabnya penasaran.
Dalam hati gue bilang gini. “ yess, berhasil-berhasil-berhasil horee...!” sambil pake gaya dora ngerangkul monyetnya Boots. “tadi diluar, samperin gih” ucap gue semangat.
Tanpa sabar, tubuh ini bergetar seperti pesawat ketabrak awan mas bro, mbak bro. dalam hati, gue ngitung kepergian ramadhayani ke luar kelas. Target gue sih, hitungannya Cuma sampe 10. Tapi, dia baru keluar dari kelas setelah hitungan gue yang ke 999. tapi ga apa-apa. Akhirnya penantian panjang gue buat ngeliat siapa yang di belakang tubuh gede ramadhayani terjawab sudah. Dia adalah bidadari pagi yang berbulu kacamata lentik. Eh, maksud gue berbulu mata lentik dan berkacamata. Kulit nya itu mas bro, eeeuuuhhh, kalau kata temen gue, Iqbal ni ya, sembriwinggg... nampaknya lembut banget. Gue terus terusan terkagum melihat wajahnya yang ayu. Sampai-sampai, gue ga sadar kalau semua teman-teman ditambah pak guntur, guru geografi sekaligus walikelas sedang memperhatikan gue yang sedang memperhatikan mentari. “tookkk”. Tiba-tiba pengamatan dan khayalan gue tentang dia buyar gitu aja. Seperti dihancurin di mesin penggiling padi dan dibalut dengan kue gulung buatan mamanya helmi, ketua kelas kami. Gimana ga buyar coba, penghapus punya pak guntur tiba-tiba mentok di kepala gue. Dan akhirnya, kepala gue ditumbuhi gunung sebiji. Gue namai itu sebagai Gunung guntur. Karena, yang nyiptain gunung di kepala gue itu pak guntur. Rasanya itu mas bro, mbak bro, ga kebayang deh. Coba aja pada saat itu gue dibolehin untuk ngebalas semua jasa-jasa pak guntur dalam membuat gunung di kepala gue, pasti gue bakal ngasi lebih untuk dia. Tapi gue tetap ingat, gue harus menghargai dia sebagai guru gue. Walaupun berkali-kali, tangannya yang sebesar pisang raja digoreng dan penghapusnya yang mengunakan kecepatan suara tercepat didunia sering mampir di kepala gue. Gue tetap ngasi pengertian gue ke dia, yang notabenenya, dia adalah guru favorit Mentari. Kalau aja bukan karena dia, udah gue pites tu orang kaya kutu. Dan kalau aja pak guntur juga ngerasain apa yang gue rasain terhadap Mentari, pasti dia bakalan nangis, terharu, minta maaf ke gue sambil ngomong “Ampun tuann”. Tapi semua kejadian itu ga sia-sia. Bener kata pepatah, “setiap kejadian yang kita alami itu pasti menuai hikmah dibaliknya”. Dan hikmah yang gue dapat dari kejadian itu ialah, gue bisa ngelihat Mentari tersenyum kepada gue. Itu sebuah taste awal yang ga mungkin bisa gue lupain. Dan senyuman itu gue jadiin spirit buat gue biar bisa semangat belajar. Alhasil, tiap pagi, gue adalah orang pertama yang datang ke sekolah. Pertama banget. Sampai-sampai, jangkrik masih belum siap nyingkirin suara anggunnya untuk ngelepas malam.
suatu hari, pada bulan Agustus tanggal 8 tahun 2006, sekolah kami mengadakan berbagai macam perlombaan untuk menyambut hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Mulai dari lomba main kelereng, main karet, sampai lomba makan kerupuk juga di adakan di sekolah kami. Gue adalah salah satu peserta dari perlombaan yang diadakan oleh pihak sekolah. Main kelereng? Bukan, main karet? Bukan, makan kerupuk? Bukan juga. Gue ngikutin lomba yang lebih berkelas dari itu. Lomba melukis. Gue perwakilan dari kelas 1-1 buat ngikuti lomba ini. Awalnya gue juga ga mau. Malah, sedikitpun ga punya minat buat ngikutin lomba-lomba yang begituan. Tapi, karena dipaksa oleh bidadari pagi gue, akhirnya gue maksain diri buat ngikutin lomba itu. Dia adalah sumber inspirasi gue. Gue ngelukis sedemikian indahnya cuma karena dia. Hari itu dia adalah segalanya buat gue. Dan hari itu juga.... dia membuat hati gue hancur, pecah, dan berserakan dimana-mana. Waktu gue ngelihat dia lagi mensupport dari kejauhan, tiba-tiba, datang seorang laki-laki yang mendekati dia. Dan lo tau mas bro, dia adalah pacarnya Mentari. Coba deh lo bayangin gimana rasanya jadi gue. Gue sedih, hancur, galau, sampai-sampai lukisan gue yang semula adalah lukisan terbagus, menjelma menjadi coretan sampah. Dan akhirnya, gue dapet repetan dari ramadhayani.
Berhari-hari gue jalani hidup gue, dan mencoba bertahan dengan rekor “orang tercepat” yang datang ke sekolahan, namun akhirnya, gue kalah dengan rasa galau. Gue jadi datang paling lama, paling malas belajar, dan paling ga mau keluar kelas. Kehidupan culun gue kini semakin bertambah tarafnya. Gue jadi kuper dan kudet tentang informasi-informasi yang ada disekolah. Tapi ini ga berlangsung lama. Badai galau Cuma melanda hari-hari gue selama satu tahun. Setelah moment kenaikan kelas, gue langsung bisa Move on dari Mentari, sang bidadari kelam gue. Gue langsung bisa melirik bidadari baru. Dan dia adalah..............



to be continue...

episode cinta #1

Ehm ehm ehm, cek cek, satu dua tiga dicoba...
Udah bisa gua mulai nih...?Oh, oke, Gua mulai ya ni
Hai hai hai, apakabar lo mas bro dan mbak bro? semoga lo semua pada sehat wal’afiat ya. Gue Riza, teman-teman gue biasa manggil gue dengan sebutan nico. Ya mereka bilang sih, gue mirip dengan nicola saputra. Cuma, mungkin kebalik ya? Nicola saputra yang mirip dengan gue. Jadi gini masbro, mbak bro, gua mau bagiin cerita gua tentang pengalaman gua suka dengan tigabelas cewek yang karakternya itu, aneh-aneh, tapi unik. Ada yang childist, egois, over, pokonya semua yang aneh aneh deh gua suka. Entah kenapa gua juga ga’ tau kenapa sempat suka sama ketigabelas cewek itu. Tapi, biar gua ceritain dulu deh tentang ketigabelasnya. Biar mas bro dan mbak bro bisa narik kesimpulan sendiri.
#Episode Pertama
Adalah Shinta, Shinta Anggraini. Cewek tinggi putih semampai dengan rambut lurus sebahu yang selalu ditutupi jilbab. Ini adalah pertama kali gue jatuh cinta. Dia adalah anak pindahan dari SD lain ke SD gue, Entah ini namanya cinta monyet atau monyet cinta atau apalah namanya? Yang pasti gue ngerasa ada sesuatu yang beda pada saat itu.
Gue ga ngerti asal muasal perasaan ini ada. Tapi waktu pertama dia memperkenalkan diri di depan kelas itu, ada sesuatu yang beda dari cewek-cewek lain di kelas gue. Pada saat penempatan tempat duduk, gue berharap banget bisa duduk disebelah dia. Secara, saat itu teman-teman pada kepo buat ngomongin tentang dia terus. Tapi, waktu bu cut, walikelas kami menempatkan dia, dia ditempatin di sebelah laksmi, wanita sedikit gendut, namun sedikit pendiam. Sedikit lo mas bro, mbak bro, ga banyak. Banyakan mah recoknya. Kalau dia udah nge-rep itu mirip banget dengan eminem dengan lagu mocking bird nya. Tapi dia teman yang baik kok. Eehhh, tunggu dulu, kita balik ke masalah awal. Semua temen gue yang cowok ngerasa kecewa. Termasuk gue, ya, walau ga dinampakin sih. Tapi kalau udah kecewa ya tetap aja kecewa.
Pertama gue nyapa dia itu, pake alibi yang biasa dipake teman-teman gue waktu SD. “Shinta, ada pena dua? Kalau ada, nuriza pinjem penanya satu dong”. Begitulah alibi gue buat ngomong sama dia untuk pertama kali. Tapi gue masih culun banget dulu mas, mbak. Rambut di sisir samping, pangkas selalu 2 sisir, baju juga selalu dimasukin. Pokonya di kelas, gue anak paling culun kedua setelah Ono Harto. Dari namanya, pasti mas bro dan mbak bro nerka bahwa dia adalah keturunan Jawa Tulen. Teett toott. Salah mas bro, mbak bro. Dia temen gua yang berketurunan tionghoa. Tulen malahan. Hanya aja, mungkin waktu hamil, nyokapnya kerasukan vampir jawa kali ya? Hehehe. Gaya dan tingkahnya yang selalu gigit-gigit pena itu menjadikannya sebagai orang terculun di kelas kami. Jadi posisi gue tetap aman, karena masih ada Ono di atas gue.
“ini, za” jawab shinta dengan suara lembutnya. Rasanya waktu dia nyebut nama gue itu mas bro, mbak bro, badan gue serasa melayang ke atas awan, ditemani lumba-lumba terbang kayak di iklan GoodTime. Eh, bukan yang ini. Salah salah. Maksud gue kopi itu lo mas bro. good good apa gitu, yg penting ada good good nya lah.
Alis tebal yang tampak bersambung itu membuat gue mendiring. Ingin banget gue bisa miliki dia. Tapi, gak lama kemudian gue tau. Dia anak orang kaya. Melihat status sosialnya itu, gue langsung mundur dan mencoba membuang jauh-jauh tumpukan cinta monyet gue. Dan sekarang, cinta gue telah hilang, terhapus karena status sosial yang membuat gue minder dekat-dekat dengan dia. Akhirnya, cinta monyet gue kini tinggal monyetnya aja. Karena cintanya udah hilang ditelan monyet.