#Episode Kedua
Dia adalah
Mentari. Cukup Mentari, namanya tak lebih dari itu. Mentari adalah seorang
cewek anggun berkulit putih dan berkacamata dengan takaran -3 disetiap sisi
matanya. Kacamata yang digunakannya itu menambah keyakinan atas diri gue bahwa
dia benar-benar pintar. Dia adalah teman SMP gue sejak kami diterima di kelas
1-1 sampai akhirnya kita berpisah waktu kenaikan kelas. Gue masuk di kelas 2-4,
sedangkan dia, masuk ke kelas 2-1, kelas inti. Bukan berarti masuk 2-4 gue ga
pinter ya mas bro, mbak bro. Cuma saat itu mungkin taraf keberuntungan gue lagi
berkurang. Jadi gue masuk di kelas angker. Para
guru menyebut kelas kami sebagai kelas buangan. Karena didalamnya berkumpul 23
anak bandel, ditambah dua culun bahagia yaitu gue dan Ono Harto. Setelah tamat
SD, kita berhasil masuk ke SMP favorit semua manusia setengah remaja alias anak
SD yang lagi ngerayain tamatannya. Gue tamat dengan nilai diatas standart
rata-rata.
Pertama masuk
kelas, Cuma satu yang gue cari mas bro. “cewek cantik”. Dan yang pertama kali
gue liat itu adalah Ramadhayani. Cewek yang ga cantik-cantik amat, tapi dia
andalan para guru ketika dalam pelajaran matematika. Tapi, setelah lama gue
mandangi Ramadhayani, gue ngerasa ada sesuatu yang ditutupi oleh tubuh
padatnya. Waktu itu alibi gue keluar tanpa kompromi. “Ramadhayani, kamu tadi
dicariin sama senior. Katanya sih, kakak kelas kamu waktu di SD sih.” Ucap gue
santai, sambil menunggu reaksi dari ramadhayani buat pindah dari tempat
duduknya.
“siapa za? Sekarang dimana dia?”
jawabnya penasaran.
Dalam hati gue bilang gini. “
yess, berhasil-berhasil-berhasil horee...!” sambil pake gaya dora ngerangkul monyetnya Boots. “tadi
diluar, samperin gih” ucap gue semangat.
Tanpa sabar,
tubuh ini bergetar seperti pesawat ketabrak awan mas bro, mbak bro. dalam hati,
gue ngitung kepergian ramadhayani ke luar kelas. Target gue sih, hitungannya
Cuma sampe 10. Tapi, dia baru keluar dari kelas setelah hitungan gue yang ke
999. tapi ga apa-apa. Akhirnya penantian panjang gue buat ngeliat siapa yang di
belakang tubuh gede ramadhayani terjawab sudah. Dia adalah bidadari pagi yang
berbulu kacamata lentik. Eh, maksud gue berbulu mata lentik dan berkacamata.
Kulit nya itu mas bro, eeeuuuhhh, kalau kata temen gue, Iqbal ni ya,
sembriwinggg... nampaknya lembut banget. Gue terus terusan terkagum melihat
wajahnya yang ayu. Sampai-sampai, gue ga sadar kalau semua teman-teman ditambah
pak guntur,
guru geografi sekaligus walikelas sedang memperhatikan gue yang sedang
memperhatikan mentari. “tookkk”. Tiba-tiba pengamatan dan khayalan gue tentang
dia buyar gitu aja. Seperti dihancurin di mesin penggiling padi dan dibalut
dengan kue gulung buatan mamanya helmi, ketua kelas kami. Gimana ga buyar coba,
penghapus punya pak guntur
tiba-tiba mentok di kepala gue. Dan akhirnya, kepala gue ditumbuhi gunung
sebiji. Gue namai itu sebagai Gunung guntur.
Karena, yang nyiptain gunung di kepala gue itu pak guntur. Rasanya itu mas bro, mbak bro, ga
kebayang deh. Coba aja pada saat itu gue dibolehin untuk ngebalas semua
jasa-jasa pak guntur
dalam membuat gunung di kepala gue, pasti gue bakal ngasi lebih untuk dia. Tapi
gue tetap ingat, gue harus menghargai dia sebagai guru gue. Walaupun
berkali-kali, tangannya yang sebesar pisang raja digoreng dan penghapusnya yang
mengunakan kecepatan suara tercepat didunia sering mampir di kepala gue. Gue
tetap ngasi pengertian gue ke dia, yang notabenenya, dia adalah guru favorit
Mentari. Kalau aja bukan karena dia, udah gue pites tu orang kaya kutu. Dan
kalau aja pak guntur
juga ngerasain apa yang gue rasain terhadap Mentari, pasti dia bakalan nangis,
terharu, minta maaf ke gue sambil ngomong “Ampun tuann”. Tapi semua kejadian
itu ga sia-sia. Bener kata pepatah, “setiap kejadian yang kita alami itu pasti
menuai hikmah dibaliknya”. Dan hikmah yang gue dapat dari kejadian itu ialah,
gue bisa ngelihat Mentari tersenyum kepada gue. Itu sebuah taste awal yang ga
mungkin bisa gue lupain. Dan senyuman itu gue jadiin spirit buat gue biar bisa
semangat belajar. Alhasil, tiap pagi, gue adalah orang pertama yang datang ke
sekolah. Pertama banget. Sampai-sampai, jangkrik masih belum siap nyingkirin
suara anggunnya untuk ngelepas malam.
suatu hari,
pada bulan Agustus tanggal 8 tahun 2006, sekolah kami mengadakan berbagai macam
perlombaan untuk menyambut hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Mulai dari
lomba main kelereng, main karet, sampai lomba makan kerupuk juga di adakan di
sekolah kami. Gue adalah salah satu peserta dari perlombaan yang diadakan oleh
pihak sekolah. Main kelereng? Bukan, main karet? Bukan, makan kerupuk? Bukan
juga. Gue ngikutin lomba yang lebih berkelas dari itu. Lomba melukis. Gue perwakilan
dari kelas 1-1 buat ngikuti lomba ini. Awalnya gue juga ga mau. Malah,
sedikitpun ga punya minat buat ngikutin lomba-lomba yang begituan. Tapi, karena
dipaksa oleh bidadari pagi gue, akhirnya gue maksain diri buat ngikutin lomba
itu. Dia adalah sumber inspirasi gue. Gue ngelukis sedemikian indahnya cuma
karena dia. Hari itu dia adalah segalanya buat gue. Dan hari itu juga.... dia
membuat hati gue hancur, pecah, dan berserakan dimana-mana. Waktu gue ngelihat
dia lagi mensupport dari kejauhan, tiba-tiba, datang seorang laki-laki yang
mendekati dia. Dan lo tau mas bro, dia adalah pacarnya Mentari. Coba deh lo
bayangin gimana rasanya jadi gue. Gue sedih, hancur, galau, sampai-sampai
lukisan gue yang semula adalah lukisan terbagus, menjelma menjadi coretan
sampah. Dan akhirnya, gue dapet repetan dari ramadhayani.
Berhari-hari
gue jalani hidup gue, dan mencoba bertahan dengan rekor “orang tercepat” yang
datang ke sekolahan, namun akhirnya, gue kalah dengan rasa galau. Gue jadi
datang paling lama, paling malas belajar, dan paling ga mau keluar kelas.
Kehidupan culun gue kini semakin bertambah tarafnya. Gue jadi kuper dan kudet
tentang informasi-informasi yang ada disekolah. Tapi ini ga berlangsung lama.
Badai galau Cuma melanda hari-hari gue selama satu tahun. Setelah moment
kenaikan kelas, gue langsung bisa Move on dari Mentari, sang bidadari kelam
gue. Gue langsung bisa melirik bidadari baru. Dan dia adalah..............
to be continue...
to be continue...
No comments:
Post a Comment