sepertinya judi adalah sebuah
nafas yang tak boleh berhenti, jika tidak, aku mati. akan tetapi tetap, hal ini
hanya aku dan mitra judiku yang tau. aku benar-benar bisa merahasiakan hal gila
ini dari keluargaku.
saat itu ada banyak cara yang
menjadikan judi terlihat menarik. bahkan lebih menarik dari sekedar penambah
berat kantong. ia terlihat lebih renyah daripada kacang goreng yang diberi bumbu rasa bawang putih. beberapa cara dari banyak cara itu seperti berjudi dengan mainan
gambar anak, ludo, ular tangga, kuaci, bahkan kelereng pun menjadi media yang
menyenangkan untuk melakukan itu. tubuh fisik ku dan teman di lingkunganku
memang masih sangat polos dan lugu. akan tetapi, fikiran kami, ketika sadar
angka, sudah membutakan kami bahwa kami hanya remaja yang masih berada dibawah
ketiak mama. seolah kami lahir sebelum tubuh kami dilahirkan.
tanpa basa basi, judi
masuk ke kehidupanku, dan mendarah daging untuk beberapa saat. saat saat
selanjutnya, aku tak lagi mengenal apa itu judi. Aku mulai menjalani hidupku
yang mungkin bukan pertama begini, aku harus berpisah lagi dengan keluargaku.
Aku melanjutkan pendidikanku di
kota Langsa, sebelah kota kelahiranku, menumpang di rumah adik mamaku yang
biasa kami panggil Encu. Aku dididik keras ditempat ini soal agama. Encu adalah
seorang sarjana Agama, juga seorang aktifis akut di Partai Keadilan Sejahtera. Segala
sesuatu, apapun yang di ajarkannya kepadaku mungkin, hampir tidak pernah tidak
dikaitkannya dengan partai itu. Bahkan aku sempat menjadi aktifis didalamnya.
Pada mulanya aku merasa sangat
asing di tempat ini. Lokasinya sangat tidak strategis. Tidak bersahabat dengan
karakterku. Aku mengalami kejenuhan yang sangat. Aku punya firasat yang
menggebu-gebu untuk pulang ke rumah. Aku merasa lebih asing dibanding orang
asing. saat itu, hanya dinding kamar yang tau siapa aku, dan kami saling
mengenal.
To be Continue...
No comments:
Post a Comment