-BISU-
-Di dermaga-
Wanita itu kini berdiri di pucuk
dermaga biru
Memandang ke arah timur surya
terbenam
ia kini direngkuh kesunyian yang
dalam tak berdasar
membuat ia bertelut tanya
Duh, bunda. mengapa dia pergi
tanpa tanda ingin kembali
selembar suratpun tak kunjung
menghampiri
oh, malam pun kini membentang
gelap
semalam-malam
ia duduk tanpa lelap
ah, telah biasa ia seperti ini.
berteman hembus angin
yang menusuk sulbi
aku memandangnya sedang terjerit
di pucuk kesendirian
aku terjerit. dia diam
wanita itu hanya menutup hari
dengan kenangan penuh-penuh tentang tawa ibu.
tanpa peduli. lelaki yang
berteman penantian akan segera pergi. mati.
oh, cinta yang di sentuhnya tak
beri apa.
kapan kesunyian berakhir entah.
ia terus berdiri di pucuk
dermaga yang bisu. setiap petang,
hingga malam menggelar gelap
pada hamparan bumi.
bumi terlelap. ia tak lelap.
-Skenario usang-
aku melihatnya dengan mata di
kepalaku.
dia sedang penuh jelaga.
terus diliriknya ibar-ibar yang
berlalu. cuma ombak huyung menari mengamok sepi.
bercinta dengan malam.
melahirkan angin yang menembus rongga pada dada yang tak lagi pias.
sepenuh waktu ia mendongak ke
arah bintang-gemintang tergantung.
kerlipnya kecil dan semakin hilang
saat surya merobek warna hitam pada tanah. terus ia mengeluh. berdo'a.
melantunkan bait-bait lirih kepada mabud. ia tak lagi sali kini.
tak perlu beri saluir padanya.
ia hanya ingin melihat harapnya jadi bait-bait nyata. dunia tak lagi berkabung
dengan alam kasih sayang tuhan.
yang agung menyadap kenangan
indah lewat skenario yang harus dimainkan.
Waktu tak lagi memusyawarahkan
hasil naskah tuhan. Editing tak perlu. Cukup memainkan laman-laman usang.
Ia penuh jelaga. Ia tak lelap.
-Sepucuk untuk ayah-
Wanita itu menulis sepucuk harapan. tertuju pada Ayah tercinta. ia menanti tanpa tau apa itu lelap. Duh, Yah, kapan kau kirim surat dari surga? apa kau telah lelap di buai alam kasih sayang tuhan? apa kau terhunus panas sang cahaya?
Wanita itu tak tau sama sekali apa kabar. tak pernah terkirim sepucuk apapun sejak 14 tahun silam. dia tak tau itu. tak tau kabarnya apa.
Wanita itu selalu mengirimnya sepucuk kertas usang. menitipkan kepada ibar-ibar. tanda cinta. tanda rindu. sayang nya padanya yang setelah pandai wanita itu berucap BUNDA, lalu ucap kau AYAH.
Duh, Yah, apa kau tak lihat apa kabar Bunda sekarang? ini akibat kau memalingkan wajahmu dari dunia. enakkah sekarang yah? kau di alam kasih sayang tuhan.
bagaimana dengan kami? apa kau tau kabar ku dan lelaki itu? tlah dicecapnya bangku kuliah pada usia 18 tahun seperti inginmu dulu. kau ingin dia jadi musisi. menulis, melukis? sudah diturutinya itu semua.
Wanita itu sekarang, tlah menulis 6 juz bait Al-qur'an di setiap garis saraf otaknya. dan akan lebih dari itu.
"lantas, setelah apa yang kami perbuat untuk buatmu merasa congkak memiliki anak seperti kami,
kau terus pergi dengan khidmat.? tanpa ada sepucuk surat menghampiri rumah no.19 ini."
wanita itu merengkuh rindu. terlebih lelaki. Bunda pun sama. hanya ia tak ingin lagi tampak begitu.
Duh, yah, datanglah ke rumah no. 19 ini.
wanita berturut serta lelaki siap menyambut dengan kerumus. atau jika tidak. kirimkan saja alamat tempatmu berdiri sekarang. biar aku dan lelaki itu yang datang tempatmu.
-Tempat berada-
Lelaki itu memperhatikan wanita
itu terduduk. Tersimpuh. Memohon pada sang mabud.
Ia melirik ke arah bulan. Adakah
goresan di permukaan? Atau sekedar tanda. Dimana ayah berada? ketika hati mulai
tak mesra dengan keadaannya, tak lelah kah ia semalam-malam menatap purnama
tanya.
Duh, Wanita, tau apa kau tentang
nya...?
Lelaki itu diam. Membujuk.
Mengumbar fakta lumrah tentang apa yang di lakukan bunda sebenarnya. Mata
meneteskan sadar. Pelukan erat dicecap lelaki itu dari wanita itu.
Oh, dimana ayah berada? Bersama
siapa? Tak rindukah ia dengan kita? Aku rindu mereka. Mencium aroma khas nafas
wanita tua itu pun aku rindu. Dimana mereka ada?
Aku yakin mereka merindu kita.
Bahkan ingin sekali melihat dengan tubuh yang perlahan menua.
Kau tau dimana?
Di alam kasih sayang tuhan?
Dimana itu? Aku ingin menjemput
mereka. Atau hanya sekedar berkunjung untuk mengadu saja.
Dimana entah. Kita juga akan
kesana nanti. Tunggu saja.
Semakin-makin erat pelukan itu.
Ia terus menggumamkan apa yang dirasa. Ada
apa dengan hati? Ada
apa dengan bunda? di pelukannya.
-Wasiat Bunda-
Seperempat lebih malam tersita
gumam. Pelukan. Rayu-rayuan dari mulut Lelaki sok bijak. Padahal ia pun
mengecam hal serupa. Walau sudah tau dimana.
Pelukan tamat. Wanita itu
terhasut amarah. Buku harian mengapa ada di genggaman lelaki itu? Ah,
pengintip.
Ia menarik sejilid buku bertulis
bait-bait gumam hati. Terjatuh kertas. Berisi gumam juga. Dari bunda. Ia
menyimpan sekelumit resah. Ungkapnya sebelum kapan pergi ke alam kasih sayang
tuhan entah.
Duh, bunda. Kenapa tak ungkap
ini sebelumnya?
Menyucur lagi air matanya. Pesan
itu singkat. Namun wasiat. Dijadinya Wanita dan Lelaki itu warisan. Segera saja
tinggalkan dermaga biru yang bisu. Cepat, jangan sa’i. Bunda menunggu dengan
sepi.
Oh, kapan ini berkesudah. Tak
ada lagi durja. Bunda tak boleh lagi di hantam keberingasan masa. Cukuplah, hai
mabud menulis skenario usang itu. Beri umpan peran baik pada hidup bunda.
Ungkap wanita itu. Bunda terlalu
sempurna jika hanya untuk dirangkuh ujian.
Oh, jika tuhan izinkan, kau yang
mabud selain Dia.Bunda.
-Lamunan kelam-
Lelaki itu mengenang masa. ia
melukis amarah.
melemparkan semua hal kepada
bunda. Dia merasa bunda salah. tapi tidak.
Dia tak seperti biasanya. 19
tahun bersama bunda, ia mendadak jadi sesosok ganas monster yang menebar gores
luka baru. Dihati bunda.
ah, semua kata fulgar itu hanya
biasa. tapi tidak bagi bunda. Ia tak pernah dengar itu. sama sekali tidak dari
lelaki itu. Dia pun sama.
tak pernah terdengar karakter
kata itu keluar dari tuturnya. bukan lagi Setan. tapi Dajjal yang ada didalam
lelaki saat itu. ia hanya memandang satu sisi. itu ego.
ia tak tau kini. dengan apa
harus menyamarkan luka bunda. Karena menghapus tidaklah mungkin. semua tetap
meninggal bekas.
lantas. harus dengan apa?
uang...? jabatan, kesenangan...? atau mungkin se-isi dunia ini...? maafkan aku
bunda.
Oh, jika tuhan izinkan, kau yang
mabud selain Dia. Bunda.
lalu, harus dengan apa
menyamarkan luka? sedang lelaki itu pun tak yakin. apakah kata maafnya akan
meleburkan semua dosa atas bunda? harus dengan apa? mungkinkah ia dapat
terampuni? mungkinkah? Bunda.
-Do’a Bunda-
Jarak antara rumah, lelaki dan
wanita itu tak lagi jauh. Mulut pintu pun sedikit menganga. Terdengar sayup-sayup
merdu penuh ketenangan. Dalam tutur Bunda.
Lelaki itu mendengar lantunan. ayat-ayat
dalam rumah cinta. Langsung mereka mendekap bunda kuat-kuat hingga sedikit
pengap. Bunda telah menyadari skenario apa yang sebenarnya sedang dimainkan
Tuhan. Kemudian suara bersambut mesra sentuhan. rambut ikal lelaki yang mulai
putih beberapa baris. Di elus. Di kecup.
Ingatkah Bunda tentang nada
DO-RE-MI-FA-SOL-MI-DO? yang bunda ajarkan pada lelaki itu di lima SD? Dia
juaranya saat itu.
sekarang timbul ngiang. Sang lelaki
ingin bertutur manja. untuk ucap kasih, lalu harap terima dari Bunda. dengan
pelukan dan kecupan. di kedua pipi dan sebilah kening piasnya. sambil ucapkan
"kau anakku" dalam do'a Bunda.