Kualasimpang, 24 Juli 2014 ; 16:52, ramadhan ke 26.
Oleh : Nuriza Auliatami
Astuti, astuti. Sini dulu
kau. Aku mau cerita sebentar sama kau.
sebentar lagi sudah tahun ke empat aku kuliah di USU.
Tapi,
aku belum punya rencana apa-apa tentang bagaimana masadepanku. Belum sempat aku
memikirkannya. Untuk memikirkan bagaimana hubungan kita selanjutnya saja belum
sempat aku. apalagi untuk memikirkan masadepan pada saat uang kuliah melonjak naik seperti ini. Tak lah
selesai-selesai aku berfikir.
Tapi, astuti. Kalau-kalau nanti aku tamat, aku ingin merantau dulu ke luar. Ya kemana saja lah, asal keluar. Cari-cari angin aku. Didalam panas soalnya. Nanti kalau aku sudah keluar, baik-baik lah kau jaga diri disini.
Kalau aku balik nanti, aku jadi DPR, terus aku kerja bagus-bagus satu atau dua tahun sebagai wakil dari rakyat, selanjutnya, setelah namaku baik dan besar, korupsi lah aku. Karena gajinya seberapa lah. Paling-paling cuma bisa untuk lap keringatku saja.
Nanti, setelah korupsi aku, kulamar kau.
Kau mau dengan cara
apa? Dengan surprise, yang ku kasi kau kalung berlian, atau seperti Bang roma yang melamar
Kak Ani dengan cara duduk bersimpuh, ku ambil tanganmu, ku kasi mawar kau,
terus ku bilang ; astuti, maukah kau menjadi permaisuriku? Ibu dari
anak-anakku. Ratu di kerajaanku?
Terus kalau kau bilang mau, ku cium lah kau. Tapi
kalau kau tak mau, ya mau apalagi. Pasrah saja lah aku. tapi tetap ku cium
juga kau. Karena kata si bodat, temanku, sebagai laki-laki kita harus begitu, asal
pas posisi, hajar terus.
Nanti, kalau kau mau, kita
buat tabungan kita tersebar di banyak negara. Ya biar aman. Biar tak ada yang
curiga itu uang dari mana.
Astuti, hei, astuti. kalaupun aku tak
jadi DPR, aku ambil S2 saja lah, jadi Dosen aku di Universitas. Ya, kalau uang
belanja kurang, tinggal kau bilang. Biar nanti, sewaktu ujian, banyaklah
mahasiswa yang tak ku luluskan. Biar nanti dia bayar uang ujian khusus. Jadi kan
ada tambahan untuk uang dapur belanjamu. Habisnya, mau jujurpun susah, gaji
dosen seberapalah. Bahkan, besar lagi gaji Pemerintah, dari pada gaji orang
yang mendidik pemerintah itu. Itupun, entah kapan si pemerintah itu di ajarkan korupsi, tapi
tetap, dia korupsi juga.
Ya, lebih bagus aku sebagai pendidik, korupsi juga lah. Tak mau lah aku kalah. masa' yang ku didik lebih kaya daripada aku.
Gaji halal pendidik, paling-paling cuma bisa dijadikan sebagai ganti tisu toilet yang kotor itu.
Korupsi ya wajar. Karna kalau tak, Tak cukup nanti untuk makan keluarga kita. Belum lagi beli bedak-bedak kau yang segala macam itu.
Gaji halal pendidik, paling-paling cuma bisa dijadikan sebagai ganti tisu toilet yang kotor itu.
Korupsi ya wajar. Karna kalau tak, Tak cukup nanti untuk makan keluarga kita. Belum lagi beli bedak-bedak kau yang segala macam itu.
Ah, tapi Dosen tanggung
kali kurasa. Jadi Rektor saja aku ya? Biar nanti kalau ada Beasiswa, bisa ku
potong uangnya. Kan bisa nambah-nambah uang rokok ku.
Oy, oy, astuti, dengar
ini pesanku. Nanti, kalau kita sudah punya anak. Kau ajar lah dia mengaji dan
sembahyang. Biar nanti, bisa di do’akannya kita masuk surga. Dan kalau dia
kerja, suruh jadi pedagang saja lah dia. Jangan jadi politikus. Nanti yang di
jualnya omong kosong.
Jangan ketawa kau, astuti. Tak kau cium nya ini, aku yang politikus, sedikit banyaknya,
mulutku bau taik.
Biar jadi pedagang saja
lah dia, ya, ya ya? Biar dibantunya saudara-saudara kita yang susah itu. Disantuninya
anak-anak yatim. Dikasinya makan uang halal untuk anak-anaknya. Jangan sempat
di ikutnya bapaknya ini. Mau jadi apa negara ini kalau koruptor seperti aku
bertambah terus?
No comments:
Post a Comment