Thursday 27 October 2016

Pesan untuk sang istri, Nanti.



Kualasimpang, 24 Juli 2014 ; 16:52, ramadhan ke 26.
Oleh : Nuriza Auliatami

Astuti, astuti. Sini dulu kau. Aku mau cerita sebentar sama kau.
sebentar lagi sudah tahun ke empat aku kuliah di USU.
Tapi, aku belum punya rencana apa-apa tentang bagaimana masadepanku. Belum sempat aku memikirkannya. Untuk memikirkan bagaimana hubungan kita selanjutnya saja belum sempat aku. apalagi untuk memikirkan masadepan pada saat uang kuliah melonjak naik seperti ini. Tak lah selesai-selesai aku berfikir.

Tapi, astuti. Kalau-kalau nanti aku tamat, aku ingin merantau dulu ke luar. Ya kemana saja lah, asal keluar. Cari-cari angin aku. Didalam panas soalnya. Nanti kalau aku sudah keluar, baik-baik lah kau jaga diri disini.

Kalau aku balik nanti, aku jadi DPR, terus aku kerja bagus-bagus satu atau dua tahun sebagai wakil dari rakyat, selanjutnya, setelah namaku baik dan besar, korupsi lah aku. Karena gajinya seberapa lah. Paling-paling cuma bisa untuk lap keringatku saja.

Nanti, setelah korupsi aku, kulamar kau.
Kau mau dengan cara apa? Dengan surprise, yang ku kasi kau kalung berlian, atau seperti Bang roma yang melamar Kak Ani dengan cara duduk bersimpuh, ku ambil tanganmu, ku kasi mawar kau, terus ku bilang ; astuti, maukah kau menjadi permaisuriku? Ibu dari anak-anakku. Ratu di kerajaanku? 

Terus kalau kau bilang mau, ku cium lah kau. Tapi kalau kau tak mau, ya mau apalagi. Pasrah saja lah aku. tapi tetap ku cium juga kau. Karena kata si bodat, temanku, sebagai laki-laki kita harus begitu, asal pas posisi, hajar terus.

Nanti, kalau kau mau, kita buat tabungan kita tersebar di banyak negara. Ya biar aman. Biar tak ada yang curiga itu uang dari mana.

Astuti, hei, astuti. kalaupun aku tak jadi DPR, aku ambil S2 saja lah, jadi Dosen aku di Universitas. Ya, kalau uang belanja kurang, tinggal kau bilang. Biar nanti, sewaktu ujian, banyaklah mahasiswa yang tak ku luluskan. Biar nanti dia bayar uang ujian khusus. Jadi kan ada tambahan untuk uang dapur belanjamu. Habisnya, mau jujurpun susah, gaji dosen seberapalah. Bahkan, besar lagi gaji Pemerintah, dari pada gaji orang yang mendidik pemerintah itu. Itupun, entah kapan si pemerintah itu di ajarkan korupsi, tapi tetap, dia korupsi juga. 
Ya, lebih bagus aku sebagai pendidik, korupsi juga lah. Tak mau lah aku kalah. masa' yang ku didik lebih kaya daripada aku.
Gaji halal pendidik, paling-paling cuma bisa dijadikan sebagai ganti tisu toilet yang kotor itu.
Korupsi ya wajar. Karna kalau tak, Tak cukup nanti untuk makan keluarga kita. Belum lagi beli bedak-bedak kau yang segala macam itu.
Ah, tapi Dosen tanggung kali kurasa. Jadi Rektor saja aku ya? Biar nanti kalau ada Beasiswa, bisa ku potong uangnya. Kan bisa nambah-nambah uang rokok ku.

Oy, oy, astuti, dengar ini pesanku. Nanti, kalau kita sudah punya anak. Kau ajar lah dia mengaji dan sembahyang. Biar nanti, bisa di do’akannya kita masuk surga. Dan kalau dia kerja, suruh jadi pedagang saja lah dia. Jangan jadi politikus. Nanti yang di jualnya omong kosong.
Jangan ketawa kau, astuti. Tak kau cium nya ini, aku yang politikus, sedikit banyaknya, mulutku bau taik.
Biar jadi pedagang saja lah dia, ya, ya ya? Biar dibantunya saudara-saudara kita yang susah itu. Disantuninya anak-anak yatim. Dikasinya makan uang halal untuk anak-anaknya. Jangan sempat di ikutnya bapaknya ini. Mau jadi apa negara ini kalau koruptor seperti aku bertambah terus?

No comments: