Monday 9 March 2015

DOM----Puisi Esai

Oleh : Nuriza Auliatami


Alam malam ini mendung
petir menyambar-nyambar
kilat melalu lalang bersama peluru-peluru
dan rudal yang terus menghantam dinding-dinding
merobohkan nyawa-nyawa yang lalu lalang
malam ini.

aku tak lagi bisa tidur
suara-suara senjata dari peperangan yang tak berkesudah ini
membuat gendang telingaku seakan pecah

aku menangis----
namun tangisanku tak lagi terdengar
ia telah bersenyawa dengan suara-suara lantang diluar sana

sepenuh minggu aku menunggu
ruang ini masih gelap
sepenuh bulan aku menunggu
ruang ini masih saja hanya memiliki sepucuk lilin
sepenuh tahun aku menunggu
ruang ini tetap hanya ada aku sendiri

aku tetap tersudut
usiaku mulai terkikis
seperti waktu yang juga terus mengikis dinding-dinding kamarku
pun perang ini juga belum usai

kepada rudal-rudal, tank, dan peluru
yang menembus dinding kamarku
aku bertanya

"ada apa?"

sudut ini semakin gelap
seperti ruang hati yang
kian hari kian mengelam

Haahhh---- aku mulai terbiasa dengan suasana ini
kota yang riuh--mengaduh
apa ini yang di sebut takdir?

jika benar,
aku hanya bisa memahami bahwa
sebenarnya semua ini berjalan dengan semestinya
pun aku seharusnya menurut kepada waktu
yang terus menikam---menghantam

para istri juga seyogyanya duduk manis
menunggu suami
yang sedang memeluk perang

ini benar-benar bagian dari takdir.
ayah pergi juga bagian dari takdir
ibu menangis pun takdir

lantas,
kemana ayah pergi?
belum juga ia pulang
tahukah ia?
petang-petangku tak lagi terang
ruang ini semakin-makin menggelap.

anak-anak diluar
telah terperangkap pada masa yatimnya
anak-anak diluar
terengguh nyawanya
oleh suara pecah
oleh tentara-tentara yang memikul tugas negara

tugas negara membawa ribuan peluru
peluru panas merengguh nyawa-nyawa tak berdosa
tak seperti dosa yang sedang dipeluk para tentara
tentara-tentara itu meninggalkan gelar janda pada para istri

ada air mata di mata lucu sang yatim
meregang petang
menghapus senyum-senyum mungil yang
masih suci

satu peluru panas membawa satu nyawa
satu nyawa meninggalkan satu yatim tak berdosa

lalu aku bertanya
pada dinding-dinding yang retak
pada tentara yang meninggalkan istri-anak

"adakah perang membawa kegembiraan?
pada ruang-ruang gelap
pada bilik-bilik hati yang tertusuk?"

lantas,
ia melirik ke arahku
dengan sepucuk senjata
dengan rentetan peluru yang tergantung di dada

ibu tiba-tiba datang
melindungiku---memeluk
membuat sedikit gelap pergi dari ruang ini
membuat cahaya lilin tak lagi punya arti
membuat aku mengeluh

"ibu,
mengapa langit menangis?
mengapa petir murka?
ia menyambar-nyambar
melukis garis-garis ketakutan
pada ruang hati yang gelap

bu,
ada apa dengan langit?
ada apa dengan bumi?
ada apa dengan air mata penuh ketakutan
dari manusia pembenci petir?
ada apa dengan para tentara?
ada apa dengan tawanan?
ada apa dengan diriku?
ada apa dengan pertanyaan ada apa?

bu,
mengapa rasa takut masih saja menghantuiku
bersama gemuruh yang menyambar?
ada apa dengan aku yang selalu merasa takut?

bu,
aku merindu purnama"

lantas,
wanita tua yang ku sebut--ibu--itu
mewariskan kekokohan rasa beraninya padaku
ia mengubah setiap ketakutan dalam diriku
hingga menjelma tenang

di ucapnya mantra-mantra
di pinggir telingaku :

"anakku___
untuk apa kau takut dengan petir?
untuk apa kau takut dengan para tentara?
untuk apa kau mengkhawatirkan para tawanan?
untuk apa kau basahkan matamu dengan ketakutan?
untuk apa kau menanyakan dirimu?

anakku___
izinkan aku bercerita sedikit tentangmu.
tentang apa yang didalam takdir tersurat tentangmu
sebelum tidur panjang malam ini. :

kita akan mati
walau dengan atau tanpa rasa takut
walau tanpa tangisan langit
dan petir-petir yang menyambar

kita serupa pengembara yang lalu lalang
di antara bukit barisan yang terbentang
melukis jejak
dengan tapak-tapak yang perlahan
akan hilang termakan angin
lalu kita berkemas
mengumpul bekal
lalu kembali ke pembaringan
saat langit menangis----saat petir menyambar.
pun saat purnama tak lagi di pangkuan malam


"

Haahhh---senang aku
lega nafasku---meskipun hanya sesaat
sebelum suara itu menyambut tenangku
dengan ibu yang telah roboh

hening----gelap
ruang ini semakin pekat
lilin kecil telah padam
peluru-peluru menembus dinding
seperti ia menembus tubuh ibu
menghentikan gerak nadi ibu

nyawanya terbang bersama nyawa-nyawa tak berdosa lainnya
nyawanya terbang di hadapanku
separuh nyawaku terbang di hadapanku
aku tertegun
aku separuh mati

"mengapa?
ibuuu---
Tuhan,
ada apa dengan ibu?
mengapa harus ibu?
mengapaaa____"

aku melirik ke arah orang itu
aku menatapnya---dalam
dalam sekali
tanpa ada dasar

ia melirik ke arahku
ia menatapku---dalam
dalam sekali
hingga ia terjatuh

dilihatnya tanah yang basah dengan darah
dilihatnya mataku
mataku basah dengan kebencian

"Tuhan----
dimana?
dimana manusia?
dimana manusia-manusia yang merindukan kedamaian?
mengapa hanya ada binatang-binatang berseragam?

dimana keadilan?
untuk 'ku----untuk ibu
untuk ilalang-ilalang yang ingin tumbuh
untuk burung-burung yang tak lagi bebas?"

mataku basah dengan kebencian
tanah basah dengan darah ibu
tentara basah dengan dosanya sendiri
ruang ini semakin basah dengan gelap

aku piatu
air mataku jatuh beribu
meski para tentara telah diserbu
oleh pejuang,
bersenjatakan bambu

purnama kembali tiba
gemintang kembali tiba
langit nusantara kembali ceria
pawana menghembuskan kata merdeka keseluruh Indonesia

Negeri ini telah merdeka, bu---
negeri ini merdeka---

tapi mengapa merdeka itu tidak untukku?
mengapa cahaya tak juga mengusir gelap-gelapku?

sepenuh minggu aku menunggu
ruang ini masih gelap
sepenuh bulan aku menunggu
ruang ini telah kehabisan lilinnya
sepenuh tahun aku menunggu
teman-temanku roboh satu-satu

lantas,
siapa yang harus ku salahkan sekarang?
salahkah aku jika masih saja bertanya

"dimana merdeka?"

saat ibu pergi
saat ayah tak juga kembali
saat petir menyambar
saat langit kembali menangis bersamaku

Hhooohh---

semoga apa yang ada didalam hatiku
telah terungkap di hatimu
walaupun itu tanpa ungkapan

sungguh
silahkan rasakan aku
silahkan baca lirik rasa dalam hatiku
semua mengalir
serupa darah yang belum juga berhenti berjalan
menyusuri lorong-lorong nadiku
mengantar cinta dari ubun-ubun hingga kakiku
pun ia menyentuh dalam ruh ku

serupa langit yang tak akan pernah lengkap
bila hanya malam yang bersamanya
dan hujan,
tanpa suara rintik yang
menyentuh atap-atap rumah
pun aku seperti itu jika tanpamu

sepenuh musim ayang telah kita jalani bersama
sepenuh cerita yang mengantar kita pada sebuah hukum
yang mereka sebut--takdir--
lalu,
sepenuh langit dan bumi
kau mengantarkan aku pada
satu ungkapan yang tak pernah
tertuai dalam puisi-puisiku

bu----
aku merindukanmu




Rabu, 09 Oktober 2013
-za-

1 comment:

Putrisyah said...

Suka banget bang ^^ boleh dong berbagi ilmunya ^^